Mari Mencari Tahu Sejarah dan Perkembangan Musik Reggae

Mari Mencari Tahu Sejarah dan Perkembangan Musik Reggae

Setelah beberapa waktu lalu Ajax Amsterdam merilis jersey ketiga yang terinspirasi Bob Marley, publik seolah diingatkan kembali dengan musik reggae. Bukan tanpa alasan memang Ajax melepas jersey tandang untuk musim 2021/22 itu.

Bob Marley sudah menjadi sosok yang tak terpisahkan untuk para fans Ajax khususnya sejak 2008. Ketika itu para pendukung Ajax yang hadir di Inggris untuk menyaksikan laga persahabatan melawan Cardiff City, menyanyikan lagu ‘Three Little Birds’ milik Bob Marley.

Sejak saat itu, lagu Bob Marley tersebut menjadi anthem yang selalu dinyanyikan oleh para pendukung Ajax sebelum laga dimulai, di stadion manapun di seluruh penjuru dunia. Lantas, seperti apa sih perjalanan sejarah musik reggae sendiri dan bagaimana pengaruh Bob Marley untuk genre musik ini.

Musik reggae awalnya berkembang di Jamaika pada akhir era 60-an. Kata reggae berasal dari pengucapan dalam logat Afrika ragged, yang bermakna gerak kaku seperti hentakan badan penari dengan iringan musik ska.

Sekalipun sering digunakan secara luas untuk menyebut hampir semua jenis musik dari Jamaika, musik reggae lebih tepatnya merujuk pada gaya musik khusus yang muncul mengikuti perkembangan ska dan rocksteady. Namun, tempo musik reggae jauh lebih lambat dengan suara bass dan rhythm gitar lebih menonjol.

Reggae biasanya dinyanyikan dalam dialek Jamaika Patois, Bahasa Inggris Jamaika, dan dialek Iyaric sebelum akhirnya berkembang luas dan dinyanyikan dengan dialek dari daerah asal masing-masing musisi reggae.

Musik reggae juga semakin dikenal karena tradisi kritik sosial dan agama dalam liriknya, meskipun banyak pula musik reggae membahas topik yang lebih ringan dan lebih pribadi, seperti cinta dan bersosialisasi.

Jika menilik tema kritik sosial yang jadi salah satu ciri khas liriknya, musik reggae memang tidak terlepas dari sejarah kelam perbudakan di Jamaika. Pada abad ke-16, penjajahan oleh Spanyol dan Inggris memusnahkan suku Arawak, yang kemudian digantikan oleh ribuan budak kulit hitam asal Afrika.

Budak-budak tersebut dipekerjakan pada industri gula dan perkebunan di Jamaika. Di tengah kerja berat dan ancaman penindasan, kaum budak Afrika memelihara keterikatan pada tanah kelahiran mereka dengan mempertahankan tradisi. Mereka mengisahkan kehidupan di Afrika dengan nyanyian dan bebunyian sederhana. Interaksi dengan majikan yang berasal dari Eropa juga meninggalkan produk silang budaya yang akhirnya menjadi tradisi rakyat asli Jamaika.

Musik reggae juga tak lepas dari kehidupan di jalanan Getho (perkampungan kaum rastafaria) di Kingson ibu kota Jamaika. Ini pula yang bikin musik reggae bisa dikenal dari gaya rambut gimbal para musisi reggae awal dan lirik-lirik lagu reggae sarat dengan muatan ajaran rastafari yakni kebebasan, perdamaian, dan keindahan alam, serta gaya hidup bohemian.

Adapun, lagu dari grup musik Jamaika bernama Toots and the Maytals, ‘Do the Reggay’, diklasifikasikan sebagai rekaman musik reggae pertama yang menggunakan istilah ‘reggae’ dan membuat genre ini semakin populer dan mendunia.

Lantas album bertujuan untuk menyampaikan pesan tentang permasalahan sosial politik dan kondisi sosial masyarakat. Album Catch A Fire (1972) yang diluncurkan Bob Marley and The Wailers dengan cepat melambungkan reggae hingga ke luar Jamaika.

Kepopuleran musik reggae juga didukung ditunjang oleh film The Harder They Come (1973), dan dimainkannya reggae oleh para pemusik kulit putih seperti Eric Clapton, Paul Simon, Lee Scratch Perry, serta UB40.

Salah satu lagu Bob Marley ‘I Shot The Sheriff’ yang dicover oleh Eric Clapton dengan menggunakan teknik produksi dan rekaman rock modern dan mempertahankan elemen musik reggae menjadi momen besar dan penting yang membuat musik Bob Marley semakin populer dan dikenal lebih luas.

Musisi-musisi wanita yang memainkan musik reggae juga tak bisa dikesampingkan perannya dalam mempopulerkan musik reggae. Di antaranya adalah Olivia Grange, presiden Specs-Shang Musik, hingga Trish Farrell.

Kepergian Bob Marley pada 1981 memang meninggalkan duka mendalam bagi dunia musik reggae. Namun, peninggalannya telah berhasil diteruskan oleh para musisi lain yang dibantu dengan semakin populernya musik reggae di dunia.

Pada akhirnya, musik reggae bukan sekadar aliran musik bagi publik Jamaika. Perdana Menteri Jamaika Bruce Golding menjadikan Februari 2008 sebagai Bulan Reggae tahunan pertama di Jamaika.

Untuk merayakannya, Asosiasi Industri Rekaman Jamaika (RIA Jam) mengadakan Penghargaan Akademi Reggae pertamanya pada 24 Februari 2008. Selain itu, Bulan Reggae mencakup konferensi Reggae Global yang berlangsung selama enam hari, festival film reggae, dua acara penghargaan stasiun radio, dan penghargaan konser untuk mendiang Dennis Brown, yang disebut Bob Marley sebagai penyanyi favoritnya.

Pada November 2018 “musik reggae Jamaika” ditambahkan ke Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan oleh UNESCO. Keputusan ini diambil karena menganggap kontribusi musik reggae untuk permasalahan internasional seperti isu-isu ketidakadilan, perlawanan, cinta dan dinamika kehidupan manusia, sosial-politik, dan spiritual.

Sementara perkembangan musik reggae di Indonesia disebut-sebut berawal pada tahun 1986. Di era ini, muncul beberapa band, seperti Black Brothers dari Papua dan Asian Roots. Muncul pula nama Tony Q pada 1989 yang mulai mengawali karier musiknya. Pada 1994, ia membentuk Rastafara, band reggae yang cukup menggema namanya di dunia reggae nasional.

Sejak saat itu, musik reggae di Indonesia terus mengalami perkembangan dengan lahirnya beberapa musisi-musisi reggae modern seperti Imanez, Shaggy Dog, Steven & Coconut Treez, hingga Souljah, Ras Muhamad, hingga Denny Frust.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *